|
|||
Pada zaman Majapahit ada
seseorang yang tidak dikenal. Oleh karena penderitaan yang dialaminya, orang
itu pergi merantau dan mengasingkan diri di pulau yang sekarang bernama Pulau
Seprapat. Di pulau itu dia menjalankan pertapaan. Setelah beberapa lama menjalankan pertapaan itu, ia
berhasil mendapat pusaka yang sangat berkasiat.
Adapun khasiatnya adalah dapat menyembuhkan atau
mengembalikan segala sesuatu yang telah terpisah. Untuk membuktikan kasiat benda tersebut, ular dipotong menjadi dua, kemudian meletakkan pusaka di atas badan ular yang terpotong. Seketika ular tersebut dapat tersambung dan hidup.
Setelah kakak perempuannya mencari kian kemari, akhirnya menjumpainya di dalam Pulau Seprapat itu. Ia diajak pulang,
tetapi tidak mau. Bahkan ia menceritakan kejadian-kejadian yang telah dialami
selama di Pulau Seprapat. Untuk membuktikan hasil pertapaan adiknya benda yang tajam itu hujamkan pada badan adiknya. Pada percobaan pertama setelah
dipotong lehernya dapat dipulihkan kembali dengan kesaktian benda tesebut. Karena belum percaya dengan kejadian itu maka dibuktikan sekali lagi pada sang adik. Tetapi pecobaan kedua mengalami kegagalan karena setelah dipenggal ternyata bagian kepala adiknya menghilang. Oleh karena itu, Sang kakak
mencari kepala adiknya. Namun, tidak ketemu. Sang kakak menggunakan kepala kera
sebagai ganti kepala adiknya. Dengan menggunakan kesaktian benda tersebut. Kepala
kera dapat tersambung ke badannya. Dan adiknya dapat kembali hidup. Akan tetapi
berkepala kera. Adiknya yang berkepala kera tadi tinggal di Pulau Seprapat.
Setelah kembali, kakaknya
menceritakan kejadian-kejadian itu kepada tetangga. Ia mengatakan bahwa adiknya
di sana tidak hanya berkepala kera saja, tetapi juga penjaga pulau tersebut. Di samping
itu, adiknya juga menjaga harta benda Dampo Awang yang masih berada di sana yang banyaknya seperempat
dari harta bendanya yang ada. Ketika beliau kalah dalam pengadaan jago. Kakak
perempuannya juga mengatakan kepada penduduk bahwa harta benda Dampo Awang itu boleh
dimiliki siapa saja ia mau menjadi warga Pulau Seprapat itu.
Dengan keterangan-keterangan itu, maka banyak warga datang ke Pulau Seprapat
untuk menuruti cita-citanya. Bahkan, disinyalir sampai sekarang.
Karena tebalnya kepercayaan, maka menurut
berita-berita : “Apabila orang yang ingin kaya itu telah mencapai dan sampai
ajalnya, maka orang-orang itu matinya menjadi keluarga di Pulau Seprapat”. Dan
menurut kenyataannya apabila yang terlaksana kekayaannya ada yang tembong ada yang guwing (bahasa Jawa). Setelah orang-orang itu meninggal, kera yang
di sana dalam keadaan tembong dan guwing.
Catatan
:
Perlu diingat bahwa kera-kera
yang ada di Pulau Seprapat keadaannya berlainan dengan kera-kera yang ada di lain
daerah misalnya :
a. Kera-kera
di Pulau Seprapat seakan-akan
dapat mengetahui atau membedakan orang yang berderajat, dari pada orang-orang yang tidak, apabila ada orang-orang yang
datang ke sana, apabila orang tersebut adalah pimpinan, maka
kera-kera di sana tidak mau mendekati terlebih dahulu kepada
orang-orang tersebut. Sebelum kepala kera yang menemaninya, (yang dimaksud
dalam hal kepala kera ialah kera yang berbadan
manusia itu). Setelah kepala kera itu menemui, lalu berduyun-duyun menemui
dengan pimpinan tersebut dan kejinakannya.
b. Bisa
dapat mengetahui bila seorang yang mendatangi
untuk minta maksud dan tujuannya. Caranya ialah dengan membawa telur.
Biasanya yang sangat disukai kera-kera itu adalah telur. Apabila datang membawa telur, setelah diketahui
oleh kera (pimpinan) bahwa yang datang itu tidak dapat keturutan :
maksudnya, maka seolah-olah kera itu makannya tidak enak dan dimuntahkan
kembali. Ini berarti niatnya yang datang tak terkabul.
c. Bentuk/rupa
dari kera-kera tersebut adalah halus dan jinak. Seakan-akan mengetahui
sopan-santun.
Sumber : Buku “Babad Tanah
Pati”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar