|
Malam ini terasa tak
bersahabat. Langit hitam pekat tanpa bertabur bintang. Bulan, yang biasanya
bersinar, kini tertutup oleh awan gelap. Terdengar angin berdesir dari kejauhan
menumpas reranting pohon dan membuat daun kering jatuh tersungkur.
“ All The Pain The tears
they cry
Still you never said good
bye and
Now I know how for you’d
go....”
Lagu milik Avril Lavigne ini
menemaniku yang sedang tiduran di ranjang. Sudah beberapa menit aku menikmati
‘relaksasiku’ ini. Aku pikir ini bisa mengurangi kepenatanku ini. Setelah
seharian penuh berhadapan dengan pelajaran.
“Cause without you i can’t
sleep
I’m not gonna ever let’s
you leave.....”
Hampir lagu ini berakhir,
tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumahku. Aku yakin itu pasti
mama. Tapi yang aku curigai, mobil siapa itu. Biasanya, kalau mama pulang dari
kerja tak pernah ada yang mengantarkannya sampai rumah. Apalagi naik mobil.
Atau jangan-jangan ...
Segera kuberanjak dari tempat
tidur dan mengintip dari balik jendela untuk memastikan apa benar itu adalah.....
Pak Wis..... nu. Seketika mulutku menganga lebar melihat orang yang ada di
depan rumahku. Itu adalah Pak Wisnu. Apa? Jadi, benar apa yang pernah mama
katakan padaku dulu bahwa ia akan menikah lagi. Oh, tidak! Aku harus minta
penjelasan dari beliau sekarang.
Aku langsung keluar dari kamar
dan melihat mama yang baru saja mengunci pintu.
“Kinar!” mama sekilas terlihat
kaget.
“Tidak usah basa-basi, Ma.
Sebelumnya maaf kalau Kinar keras,” Tandasku. Aku menarik napas dalam-dalam
untuk melanjutkan pembicaraanku.
“Memangnya ada apa? O.... Mama
tahu. Pasti kamu akan bercerita tentang sekolahmu tadi, kan?” tanyanya.
“Mama jangan bercanda.
Sekarang, jawab pertanyaan Kinar, Ma: Siapa yang mengantar Mama pulang tadi?”
sergahku.
“Itu tadi..., Pak Wisnu,” jawabnya.
“Berapa kali lagi Kinar Harus
memberitahu Mama, bahwa Kinar tidak sudi punya ayah tiri. Dan Kinar tidak suka melihat Mama berhubungan
lagi dengan Pak Wisnu!”
“Jaga mulutmu, Kinar!”
“ Mama itu yang harus jaga diri. Apa Mama sudah tak setia lagi sama almarhum
Papa!?”
Aku benar-benar sudah tak bisa
melanjutkan pembicaraan dengan mama. Aku langsung ke kamar dan menguncinya. Aku
langsung menghempaskan tubuhku ke ranjang. Tak terasa pipiku basah seiring
gerimis yang perlahan membasahi bumi.
“Biarkalah kurasakan
Hangatnya sentuhan kasihmu .......”
“Iiiih.....apa-apan sih radio
ini, orang lagi sedih malah mutar lagu mellow”
protesku dalam hati.
“Aku langsung mematikan
radioku. Emang sih, tadi bisa menghilangkan sedikit kepenatanku. Tapi kalau
sekarang ... Tidak !!!
Pagi ini cerah sekali.
Matahari bersinar terang. Hingga sinarnya menembus sampai ke kamarku. Tapi,
tetap saja, hatiku masih jengkel. Jengkel mengingat peristiwa semalam.
Aku putuskan tidak sarapan
pagi ini. Karena kalau aku sarapan, pasti aku akan bertemu mama. Aku tidak
ingin terlihat oleh mama pagi ini. Apalagi bicara dengannya. Aku masih jengkel.
Aku akan pergi sekolah tanpa sarapan dan tanpa pamit dengan mama.
Tepat pukul 6.30, aku sudah
berada di depan kelas. Suasana kelas masih sepi. Tapi ketika aku masuk ternyata
Cessa, teman sebangkuku sudah berada di sana. Tumben!
“Wah.... wah.... wah.... Pagi-pagi
udah manyun” celotehnya mengawali
pembicaraan
“Iya, sebenarnya aku ...,”
belum sempat aku menceritakan masalahku, Cessa langsung memotongnya
“Stop! Stop! Stop! Aku tahu.
Masalah kita pasti sama. Tuh, Rian sudah datang. Ambil buku matematikamu dan
pensilmu, kita serbu Rian sebelum pukul tujuh, kita harus selesai nyontek PR
matematika sebelum pukul tujuh,” cas-cis-cus-nya
Cessa.
Tiba-tiba, ada tiga hal yang
terlintas di benaku. Pertama, Cessa
salah kalau mengira aku belum mengerjakan PR. Kedua, aku tahu kalau ternyata dia datang pagi-pagi ke sekolah
hanya untuk menyontek PR matematika. Dan, ketiga,
aku tak bisa menyimpan masalahku ini sendirian aku harus menceritakanya ke
Cessa. Aku pikir meski dia lemot aku
yakin, sedikit banyak ia akan membantuku.
“Hei! Malah bengong di sini.
Cepat ambil buku matematikamu!”
“Aku sudah mengerjakanya!”
jawabku sekenanya. Percuma aku memprotes terhadap pertanyaanya kepadaku yang
tak langsung tadi. Melihat dia mau bicara, aku langsung menabok mulutnya dengan buku tugas matematikaku. Aku tahu apa yang
akan dia katakan. Pinjam buku tugas matematikamu, donk!
Sorenya, Cessa mengajaku ke
cafe Dahlia. Sebenarnya aku yang mengajaknya ketemuan. Dianya sih mau, tapi malah dia yang menentukan
tempatnya. Aneh kan? Aku baru pertama kali ke sini ternyata tempatnya syik. Outdoor lagi. Tapi anginnya sedikit
kencang. Sepertinya akan turun hujan..
Aku mulai tidak nyaman lagi di sini karena Cessa belum datang. Hampir
seperempat jam aku menunggunya.
“Kinaaarrrr ... !!!!” teriakan
itu berdengung di telingaku.
“Maaf banget, ya, Kinar
soalnya tadi macet,” rengeknya.
Ya sudahlah. Kasihan juga Si
Cessa. Akhirnya, kami larut dalam perbincangan. Aku langsung menceritakan masalahku
pada Cessa.
Tak terasa hari semakin sore.
Cessa langsung Pamit. Sebenarnya ia buru-buru. Katanya sih ada kepentingan keluarga. Sebelum meninggalkanku, ia sempat
tersenyum. Senyum ketulusan. Meski langit agak lebih gelap dari biasanya karena
mendung, tapi kulihat kedewasaan terlukis di wajahnya yang putih. “ Terima
kasih Cessa,” batinku saat melihatnya berlalu dariku.
Kata-kata Cessa barusan masih terngiang-ngiang di
telingaku. Mengenai pendapatnya tentang masalahku.
Relain saja, Kin. Hidup
sendirian itu tidak enak. Ini bukan soal setia atau tidak setia pada almarhum
papa kamu. Menurutku, sudah saatnya mamamu ada yang mendampinginya. Oke, mesti
mamamu terlihat bahagia.Namun, mungkin banyak masalah yang sedang
dipikirkannya. Sebagai anak, mestinya kamu lebih peka terhadap mamamu.
Setiap hari mama kamu
selalu mengurus kamu. Dari bangun pagi-pagi untuk membuat sarapan lalu kerja
dan seterusnya. Itu semua ditujukan untuk kamu. Mungkin kalau mamamu menikah,
itu semua akan meringankan bebannya kalau dulu mungkin ada orang, entah itu
tetangga atau rekan kerja, yang semena-mena terhadap mama kamu. Mungkin setelah
menikah, mama kamu berani mmenghadapi hidup ini karena ada yang mendampinginya.
Dan maaf, sebelumnya, ini
bukannya aku menganggap kamu atau mamamu matre
atau kekurangan, tapi kalau kamu punya kepala keluarga baru pasti keadaan
ekonomi keluargamu akan terbantu. Bentar lagi, kan kamu juga akan masuk PTN,
mungkin mama kamu juga memikirkan hal yang sama dengan aku.
Ya, aku tahu ini memang sulit. Pasti sulit, pertama pasti canggung tiba-tiba punya ayah
lagi. Pasti kamu agak kelu memanggilnya dengan sebutan ‘papa’ belum lagi harus
berbagi, kalau ayah baru kamu itu seorang single
parent pasti mau tak mau kamu harus berbagi dengan anaknya. Tapi kamu
jangan egois dulu. Kamu juga harus memikirkan mamamu juga. Apa kamu tidak
kasihan sama mamamu? Apa kamu tidak sayang sama mamamu? Kalau setiap hari
memberikanmu kasih sayang, memberikanmu perhatian, memberikanmu kebahagiaan. Tiba-tiba
saatnya mamamu memikirkan dirinya sendiri untuk mendapatkan kebahagiaan, kamu
malah menghalanginya, kamu malah menentangnya, kamu malah tidak menyetujuinya.
Hanya saja saranku padamu, suruhlah mamamu mencari orang yang benar-benar
mencintaimu dengan baik.
Begitulah nasihat Cessa
kepadaku. Tak terasa bulir airmata hangat menetes di pipiku. Benar juga apa
yang dikatakan Cessa, batinku. Hatiku terhentak hatiku yang semula beku seperti
es kini seakan mulai mencair perlahan. Beberapa tetes air jatuh dari langit.
Hingga beberapa detik saja, gerimis membasahiku ketika aku masih termangu di
pelataran cafe. Sepertinya aku tahu
apa yang harus ku katakan dan hal terbaik yang harus kulakukan pada mama
setelah pulang nanti.
Eri Ir. (XII IPA2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar