Home

Jumat, 03 Februari 2012

CERPEN


RAGAM
 
Secuil Cinta Untuk Mama

Malam ini terasa tak bersahabat. Langit hitam pekat tanpa bertabur bintang. Bulan, yang biasanya bersinar, kini tertutup oleh awan gelap. Terdengar angin berdesir dari kejauhan menumpas reranting pohon dan membuat daun kering jatuh tersungkur.
“ All The Pain The tears they cry
Still you never said good bye and
Now I know how for you’d go....”
Lagu milik Avril Lavigne ini menemaniku yang sedang tiduran di ranjang. Sudah beberapa menit aku menikmati ‘relaksasiku’ ini. Aku pikir ini bisa mengurangi kepenatanku ini. Setelah seharian penuh berhadapan dengan pelajaran.
“Cause without you i can’t sleep
I’m not gonna ever let’s you leave.....”
Hampir lagu ini berakhir, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumahku. Aku yakin itu pasti mama. Tapi yang aku curigai, mobil siapa itu. Biasanya, kalau mama pulang dari kerja tak pernah ada yang mengantarkannya sampai rumah. Apalagi naik mobil. Atau jangan-jangan ...
Segera kuberanjak dari tempat tidur dan mengintip dari balik jendela untuk memastikan apa benar itu adalah..... Pak Wis..... nu. Seketika mulutku menganga lebar melihat orang yang ada di depan rumahku. Itu adalah Pak Wisnu. Apa? Jadi, benar apa yang pernah mama katakan padaku dulu bahwa ia akan menikah lagi. Oh, tidak! Aku harus minta penjelasan dari beliau sekarang.
Aku langsung keluar dari kamar dan melihat mama yang baru saja mengunci pintu.
“Kinar!” mama sekilas terlihat kaget.
“Tidak usah basa-basi, Ma. Sebelumnya maaf kalau Kinar keras,” Tandasku. Aku menarik napas dalam-dalam untuk melanjutkan pembicaraanku.
“Memangnya ada apa? O.... Mama tahu. Pasti kamu akan bercerita tentang sekolahmu tadi, kan?” tanyanya.
“Mama jangan bercanda. Sekarang, jawab pertanyaan Kinar, Ma: Siapa yang mengantar Mama pulang tadi?” sergahku.
“Itu tadi..., Pak Wisnu,” jawabnya.
“Berapa kali lagi Kinar Harus memberitahu Mama, bahwa Kinar tidak sudi punya ayah tiri. Dan  Kinar tidak suka melihat Mama berhubungan lagi dengan Pak Wisnu!”
“Jaga mulutmu, Kinar!”
“ Mama itu yang harus jaga diri. Apa Mama sudah tak setia lagi sama almarhum Papa!?”
Aku benar-benar sudah tak bisa melanjutkan pembicaraan dengan mama. Aku langsung ke kamar dan menguncinya. Aku langsung menghempaskan tubuhku ke ranjang. Tak terasa pipiku basah seiring gerimis yang perlahan membasahi bumi.
“Biarkalah kurasakan
Hangatnya sentuhan kasihmu .......”
“Iiiih.....apa-apan sih radio ini, orang lagi sedih malah mutar lagu mellow” protesku dalam hati.
“Aku langsung mematikan radioku. Emang sih, tadi bisa menghilangkan sedikit kepenatanku. Tapi kalau sekarang ... Tidak !!!

Pagi ini cerah sekali. Matahari bersinar terang. Hingga sinarnya menembus sampai ke kamarku. Tapi, tetap saja, hatiku masih jengkel. Jengkel mengingat peristiwa semalam.
Aku putuskan tidak sarapan pagi ini. Karena kalau aku sarapan, pasti aku akan bertemu mama. Aku tidak ingin terlihat oleh mama pagi ini. Apalagi bicara dengannya. Aku masih jengkel. Aku akan pergi sekolah tanpa sarapan dan tanpa pamit dengan mama.

Tepat pukul 6.30, aku sudah berada di depan kelas. Suasana kelas masih sepi. Tapi ketika aku masuk ternyata Cessa, teman sebangkuku sudah berada di sana. Tumben!
“Wah.... wah.... wah.... Pagi-pagi udah manyun” celotehnya mengawali pembicaraan
“Iya, sebenarnya aku ...,” belum sempat aku menceritakan masalahku, Cessa langsung memotongnya
“Stop! Stop! Stop! Aku tahu. Masalah kita pasti sama. Tuh, Rian sudah datang. Ambil buku matematikamu dan pensilmu, kita serbu Rian sebelum pukul tujuh, kita harus selesai nyontek PR matematika sebelum pukul tujuh,” cas-cis-cus-nya Cessa.
Tiba-tiba, ada tiga hal yang terlintas di benaku. Pertama, Cessa salah kalau mengira aku belum mengerjakan PR. Kedua, aku tahu kalau ternyata dia datang pagi-pagi ke sekolah hanya untuk menyontek PR matematika. Dan, ketiga, aku tak bisa menyimpan masalahku ini sendirian aku harus menceritakanya ke Cessa. Aku pikir meski dia lemot aku yakin, sedikit banyak ia akan membantuku.
“Hei! Malah bengong di sini. Cepat ambil buku matematikamu!”
“Aku sudah mengerjakanya!” jawabku sekenanya. Percuma aku memprotes terhadap pertanyaanya kepadaku yang tak langsung tadi. Melihat dia mau bicara, aku langsung menabok mulutnya dengan buku tugas matematikaku. Aku tahu apa yang akan dia katakan. Pinjam buku tugas matematikamu, donk!
Sorenya, Cessa mengajaku ke cafe Dahlia. Sebenarnya aku yang mengajaknya ketemuan. Dianya sih mau, tapi malah dia yang menentukan tempatnya. Aneh kan? Aku baru pertama kali ke sini ternyata tempatnya syik. Outdoor lagi. Tapi anginnya sedikit kencang. Sepertinya akan turun hujan..
Aku mulai tidak nyaman lagi di sini karena Cessa belum datang. Hampir seperempat jam aku menunggunya.
“Kinaaarrrr ... !!!!” teriakan itu berdengung di telingaku.
“Maaf banget, ya, Kinar soalnya tadi macet,” rengeknya.
Ya sudahlah. Kasihan juga Si Cessa. Akhirnya, kami larut dalam perbincangan. Aku langsung menceritakan masalahku pada Cessa.

Tak terasa hari semakin sore. Cessa langsung Pamit. Sebenarnya ia buru-buru. Katanya sih ada kepentingan keluarga. Sebelum meninggalkanku, ia sempat tersenyum. Senyum ketulusan. Meski langit agak lebih gelap dari biasanya karena mendung, tapi kulihat kedewasaan terlukis di wajahnya yang putih. “ Terima kasih Cessa,” batinku saat melihatnya berlalu dariku.
Kata-kata Cessa barusan masih terngiang-ngiang di telingaku. Mengenai pendapatnya tentang masalahku.
Relain saja, Kin. Hidup sendirian itu tidak enak. Ini bukan soal setia atau tidak setia pada almarhum papa kamu. Menurutku, sudah saatnya mamamu ada yang mendampinginya. Oke, mesti mamamu terlihat bahagia.Namun, mungkin banyak masalah yang sedang dipikirkannya. Sebagai anak, mestinya kamu lebih peka terhadap mamamu.
Setiap hari mama kamu selalu mengurus kamu. Dari bangun pagi-pagi untuk membuat sarapan lalu kerja dan seterusnya. Itu semua ditujukan untuk kamu. Mungkin kalau mamamu menikah, itu semua akan meringankan bebannya kalau dulu mungkin ada orang, entah itu tetangga atau rekan kerja, yang semena-mena terhadap mama kamu. Mungkin setelah menikah, mama kamu berani mmenghadapi hidup ini karena ada yang mendampinginya.
Dan maaf, sebelumnya, ini bukannya aku menganggap kamu atau mamamu matre atau kekurangan, tapi kalau kamu punya kepala keluarga baru pasti keadaan ekonomi keluargamu akan terbantu. Bentar lagi, kan kamu juga akan masuk PTN, mungkin mama kamu juga memikirkan hal yang sama dengan aku.
Ya, aku tahu ini memang sulit. Pasti sulit,  pertama pasti canggung tiba-tiba punya ayah lagi. Pasti kamu agak kelu memanggilnya dengan sebutan ‘papa’ belum lagi harus berbagi, kalau ayah baru kamu itu seorang single parent pasti mau tak mau kamu harus berbagi dengan anaknya. Tapi kamu jangan egois dulu. Kamu juga harus memikirkan mamamu juga. Apa kamu tidak kasihan sama mamamu? Apa kamu tidak sayang sama mamamu? Kalau setiap hari memberikanmu kasih sayang, memberikanmu perhatian, memberikanmu kebahagiaan. Tiba-tiba saatnya mamamu memikirkan dirinya sendiri untuk mendapatkan kebahagiaan, kamu malah menghalanginya, kamu malah menentangnya, kamu malah tidak menyetujuinya.

Hanya saja saranku padamu, suruhlah mamamu mencari orang yang benar-benar mencintaimu dengan baik.
Begitulah nasihat Cessa kepadaku. Tak terasa bulir airmata hangat menetes di pipiku. Benar juga apa yang dikatakan Cessa, batinku. Hatiku terhentak hatiku yang semula beku seperti es kini seakan mulai mencair perlahan. Beberapa tetes air jatuh dari langit. Hingga beberapa detik saja, gerimis membasahiku ketika aku masih termangu di pelataran cafe. Sepertinya aku tahu apa yang harus ku katakan dan hal terbaik yang harus kulakukan pada mama setelah pulang nanti.


Eri Ir. (XII IPA2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar